Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Budaya Protes di Malaysia Dinilai Hanya Tren, Bukan Perjuangan Serius Menurut Aktivis HAM!

 

Budaya Protes di Malaysia Dinilai Hanya Tren, Bukan Perjuangan Serius Menurut Aktivis HAM!

Budaya protes di Malaysia dinilai lebih mengikuti tren ketimbang berlandaskan keyakinan politik yang kuat, menurut pengacara hak asasi manusia ternama, Michelle Yesudas.

Dalam podcast Scoop Insight, Michelle menyoroti bahwa banyak aksi protes di Malaysia bersifat performatif dan cenderung ikut-ikutan, bukan hasil dari kesadaran politik sejak dini atau perencanaan jangka panjang.

“Tidak ada pengorganisasian lintas generasi di sini. Protes di Malaysia seperti, ‘Teman-teman gue ikut, yaudah gue ikut juga’. Hanya ikut arus,” ujarnya.

Michelle, yang berpengalaman menangani isu HAM dan pengungsi di Asia Tenggara, membandingkan hal ini dengan Thailand. Menurutnya, gerakan anak muda di Thailand umumnya lebih strategis, punya tuntutan jangka panjang, dan dibekali pendidikan kewarganegaraan sejak dini.

“Anak-anak Thailand sudah paham cara kerja kekuasaan di usia 15 tahun. Mereka tahu siapa anggota DPR dan apa tugas Senat. Anak-anak Malaysia, bahkan di universitas, banyak yang belum tahu,” jelasnya.

Ia menilai perbedaan ini disebabkan minimnya pendidikan politik sejak awal dan ketiadaan bahasa bersama yang bisa mempersatukan komunitas beragam di Malaysia.

Budaya Protes di Malaysia Dinilai Hanya Tren, Bukan Perjuangan Serius Menurut Aktivis HAM!

“Di Thailand, hanya ada satu bahasa. Saat suatu isu viral, seluruh negeri bisa mengaksesnya. Di Malaysia, terpecah — Twitter berbahasa Melayu tidak terhubung dengan Twitter berbahasa Mandarin, apalagi dengan yang berbahasa Inggris.”

Menurutnya, fragmentasi bahasa dan budaya ini membuat sulit membangun gerakan besar yang konsisten dengan tuntutan bersama.

Michelle juga menegaskan bahwa meski aksi seperti Turun Anwar tidak dibubarkan secara kekerasan, hal itu bukan berarti pemerintah benar-benar toleran. Baginya, itu lebih kepada strategi pencitraan politik.

“Kita pernah lihat pendiri Borneo Komrad, Mukmin Nantang, ditangkap; orang ditahan hanya karena menyalakan lilin; mahasiswa kedokteran diinterogasi karena edukasi kesehatan seksual. Jadi, kalau ada yang bilang Turun Anwar sukses damai, tunggu saja — negara tetap bisa menindak, tapi diam-diam.”

Ia menutup dengan seruan agar Malaysia berinvestasi dalam pendidikan kewarganegaraan, khususnya bagi anak muda, serta mendorong kolaborasi lintas komunitas, bahasa yang inklusif, dan keberanian untuk bicara.

“Kalau anak-anak tidak diajari cara kerja sistem, hukum yang ada, dan proses pembuatan kebijakan, protes akan terus berakhir hanya sebagai sesi foto. Itu bukan pengorganisasian, itu cuma aktivisme Instagram.”

Post a Comment for "Budaya Protes di Malaysia Dinilai Hanya Tren, Bukan Perjuangan Serius Menurut Aktivis HAM!"